Suku Asmat adalah suku asli yang bermukim di Papua, terkenal di seluruh dunia karena keahliannya dalam seni ukiran kayu.
Suku Asmat adalah salah satu suku terbesar yang ada di Papua bagian selatan. Suku ini mulai dikenal oleh masyarakat luas sejak tahun 1930, dimana mereka pada saat itu datang ke daerah Suku Mimika untuk melakukan penyerangan. Kini mereka dikenal di Nusantara sebagai penghasil ukiran kayu yang unik.
Orang-orang suku ini banyak menghuni Pantai Kasuari, Kecamatan Agat, dan Suwa Elma. Mereka tinggal di dataran rendah berlumpur dan rawa-rawa. Ada pula yang tinggal di dalam hutan pedalaman Papua Nugini.
Diketahui bahwa Suku Asmat di Papua bagian pedalaman ini pernah melakukan praktik kanibalisme, yang membuatnya terkenal. Penasaran fakta lainnya dari suku unik di Papua tersebut?
Suku Asmat Keturunan Dewa Fumeripits
Menurut kepercayaan yang beredar di Papua, Suku Asmat diyakini sebagai keturunan dewa. Yakni Fumeripits yang turun dari dunia ghaib di suatu tempat nan jauh di pegunungan. Ia kemudian turun ke hilir sampai menemukan lokasi yang kini ditinggali oleh orang Asmat hilir.
Selama perjalanan turun, Fumeripits diserang oleh seekor buaya raksasa dan membuat perahunya tenggelam. Meskipun luka parah, Fumeripits berhasil membunuh buaya tersebut sampai dia terdampar di tepi Sungai Asewet.
Seekor burung flamingo pun membantu merawatnya hingga sembuh. Di sana Fumeripits pun membangun rumah berukuran panjang sebagai tempat tinggal, ditambah dua patung untuk menemanisnya supaya tidak kesepian.
Kedua patung tersebut diletakkan berjajar di sekitar rumah, dan masyarakat mempercayainya sebagai asal usul Suku Asmat yang ada sampai sekarang.
Ciri Khas Suku Asmat
Orang asli suku ini punya ciri khas yang dapat dilihat dari postur tubuhnya secara fisik. Dimana orang Asmat memiliki postur tubuh yang sangat tegap, mereka tinggi dan bertubuh besar dengan warna rambut serta kulit yang cenderung gelap.
Biasanya sekujur tubuh akan dihiasi oleh cat berwarna putih, hitam, dan merah. Warna putih diperoleh dari kulit kerang yang sudah dihancurkan, warna hitam diperoleh dari arang, sementara warna merah didapatkan dari tanah merah.
Kebanyakan orang Asmat melakukan perburuan babi hutan, berburu burung, dan memancing ikan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Mereka juga berladang seperti jagung, ubi, wortel, hingga mencari sagu sebagai mata pencaharian.
Persebaran Suku Asmat
Jumlah orang Suku Asmat sangat banyak, bahkan menjadi suku dengan jumlah anggota terbanyak yang ada di Papua. Itulah kenapa orang-orang suku ini tidak bertempat tinggal di satu tempat saja, namun tersebar di beberapa wilayah.
Ada yang tinggal di daerah pesisir di sekitar Pantai Laut Arafuru sampai pedalaman hutan. Karena dekat dengan sumber mata air dan makanan, mereka yang tinggal di pesisir pantai memiliki kehidupan yang terlihat lebih mudah.
Sedangkan mereka yang tinggal di kawasan Pegunungan Jayawijaya, di tengah hutan belantara, cenderung lebih sulit. Bahkan batu yang ditemukan di jalanan pun dapat menjadi benda berharga sebagai mas kawin.
Itu karena sulit untuk menemukan batu di hutan belantara yang berupa rawa-rawa. Sehingga batu pun dinilai memiliki banyak manfaat untuk kehidupan sehari-hari. Selain digunakan sebagai mas kawin, batu ini juga dimanfaatkan untuk membuat kapak maupun berbagai peralatan bertahan hidup lainnya.
Rumah Adat Asmat
Ada dua macam rumah adat yang digunakan sebagai tempat tinggal oleh Suku Asmat Papua. Yang pertama yaitu Rumah Jew, dibangun demi kepentingan bersama masyarakat setempat. Jadi rumah ini secara khusus digunakan untuk melakukan berbagai macam kegiatan ritual, rapat desa, hingga tempat berkumpulnya para pemuka adat.
Ukurannya cukup besar dengan bentuk memanjang yang memiliki 17 pintu masuk. Jalur masuk di depan pintu rumah memiliki tangga sederhana yang mempunyai lebih dari satu tangga.
Disebut juga sebagai rumah bujang lantaran orang yang tinggal di dalamnya merupakan laki-laki yang belum menikah. Sementara rumah adat dengan ukuran yang lebih kecil disebut Rumah Tysem.
Rumah Tysem tersebut biasanya ditempatkan di sekitar Rumah Jew, dibuat sebagai tempat tinggal anggota keluarga dengan maksimal tiga kepala keluarga. Mulai dari bapak, ibu, dan anak yang sudah menikah bersama pasangannya.
Bahasa Suku Asmat
Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Asmat Papua menggunakan beberapa bahasa untuk berkomunikasi antara satu sama lain. Seperti bahasa Asmat Unir Sirau, Asmat Pantai (Asmat Safan), Asmat Sirat, Asmat Sawa, dan Asmat Bets Mbup.
Bahasa tersebut digunakan bergantung pada letak geografis tempat tinggal mereka. Misalnya bahasa Asmat Unir Sinau, ini digunakan oleh orang Asmat yang tinggal di Kampung Paar, Distrik Unir Sirau dan beberapa di Kampung Komor hingga Jipawer.
Sementara bahasa Asmat Bets Mbup sendiri memiliki tiga dialek, yang mana bahasa dialek tersebut mempunyai perbedaan sekitar 51% sampai 80%.
Upacara Adat Suku Asmat
1. Upacara Tsyimbu
Upacara Tsyimbu diadakan setiap lima tahun sekali untuk pembuatan dan pengukuhan rumah lesung ataupun perahu. Dimana perahu ini akan diukur dengan gambar keluarga yang sudah meninggal dan berbagai gambar lainnya.
Kemudian diberi warna putih di bagian dalam dan warna merah yang berseling warna putih di bagian luarnya, serta diberi hiasan sagu. Biasanya akan dilakukan pertunjukan nyanyian dan tarian yang diiringi tifa sebelum perahu dibuat atau dikukuhkan.
Keluarga besar berkumpul di rumah kepala suku untuk melakukan pertunjukan tersebut, suasananya ramai dengan sorak-sorai. Perahu yang dibuat dalam Upacara Tsyimbu ini berfungsi menjadi pengangkut makanan, meski dulunya dipakai untuk memprovokasi musuh agar berperang.
2. Upacara Yentpokmbu
Rumah Jew atau biasa disebut Rumah Bujang biasanya diberi nama sesuai dengan marga sang pemilik. Pemberian nama dilakukan selama Upacara Yentpokmbu ini.
Setelah diberi nama, rumah dapat digunakan untuk kegiatan yang bersifat religius atau tidak seperti kumpul keluarga. Namun anak-anak dan perempuan tidak diperbolehkan masuk dalam kondisi tertentu, misalnya saat terjadi penyerangan.
3. Upacara Mbismbu
Upacara Mbismbu dilakukan oleh Suku Asmat di Papua ini untuk mengenang kerabat mereka yang sudah meninggal lebih dahulu. Istilah Mbis sendiri mengacu pada ukiran patung tonggak nenek moyang yang telah meninggal.
Cukup seram, orang Asmat akan membalas dendam apabila kematian kerabat mereka terjadi karena dibunuh. Dimana mereka akan membalasnya dengan cara sama.
4. Ritual Kematian
Kematian dianggap sebagai hal yang sakral dalam budaya masyarakat Suku Asmat di Papua ini. Karena mereka percaya bahwa hal tersebut terjadi karena adanya gangguan dari roh jahat.
Ketika ada yang meninggal, jasadnya akan diletakkan di atas anyaman bambu sampai membusuk. Setelah tinggal tengkorak, maka tengkorak ini dijadikan bantal sebagai simbol kasih sayang.
Sisa tulang lainnya juga akan disimpan di atas pokok kayu atau di atas perahu lesung yang disertai sagu, kemudian dihanyutkan ke laut. Lalu pihak keluarga akan membuat ukiran Mbis untuk mengenang orang yang sudah meninggal tersebut.
Unik sekali bukan adat istiadat suku asli papua ini? Tidak heran jika banyak ilmuwan yang melakukan ekspedisi untuk mencari tahu lebih banyak informasi mengenai suku ini. Tentunya ada lebih banyak fakta yang mungkin belum terkuak, sebab banyak dari orang Suku Asmat Papua yang hidup di pedalaman hutan belantara sehingga sulit untuk dijangkau.